Halaman

Kamis, 14 Juni 2012

Pancuran Pitu yang Misterius

Pancuran Pitu
Sepertinya, saya baru saja kehilangan 'sesuatu' di Baturraden. Ya, lokawisata di lereng gunung Slamet ini mempunyai cukup banyak titik menawan yang harus dikunjungi, salah satunya ialah Pancuran Pitu. Nah, di sekitar Pancuran Pitu inilah saya merasa kehilangan sesuatu. Semasa masih SMP, saya pernah ke sini bersama rombongan keluarga besar dari kampung. Dan yang paling saya ingat, kami berbondong-bondong masuk ke dalam sebuah goa cadas yang cukup luas. Ya, goa cadas, bukan batu seperti goa-goa yang lain. Ini yang unik, selain ada stalaktit dan stalakmit yang semuanya terbentuk dari tanah cadas, di dalam goa tersebut terdapat dua aliran air, aliran air panas dan dingin! Sangat puas kami bermain di sana hingga lemas. Mungkin karena terlalu banyak orang di goa tersebut, sehingga kami harus berbagi oksigen, ditambah bau belerang dari air panas yang bersumber di Pancuran Pitu di atas goa ini.


Sekitar sepuluh tahun berselang, akhirnya saya berkesempatan lagi pergi ke kawasan ini. Bersama seorang teman yang masih kuliah di Purwokerto, kami bermaksud untuk jalan-jalan ke Pancuran Pitu. Sepanjang perjalanan dengan mengendarai sepeda motor, saya mencoba mengingat-ingat jalan yang langsung menuju kawasan Pancuran Pitu, tanpa masuk ke taman lokawisata Baturraden. Cara menuju Pancuran Pitu memang ada dua, jalan kaki dengan memasuki taman Baturraden terlebih dahulu atau melalui jalan memutar yang cukup jauh namun bisa dilalui dengan kendaraan bermotor. Pada kesempatan terdahulu bersama keluarga, kami memilih jalan memutar. Kali ini pun saya ingin lewat jalan memutar tadi karena nantinya tidak usah jalan terlalu jauh untuk mencapai Pancuran Pitu. Namun apa daya saya lupa jalannya. Sementara teman saya ini belum pernah ke Pancuran Pitu. Ah, saya menyerah. Saya benar-benar lupa jalannya!

Akhirnya saya memutuskan memasuki area parkir Baturraden. Di situ saya mencoba bertanya kepada petugas parkir mengenai jalan tembus yang langsung menuju ke Pancuran Pitu. Jawabannya kurang melegakan kami, jalannya berkelok-kelok, naik-turun, dan sudah rusak parah. Tentang naik-turun dan berkelok-kelok saya masih ingat. Bahkan, dulu salah satu mobil keluarga saya tidak kuat menanjak sehingga semua penumpang harus turun terlebih dahulu. Mengingat hal tersebut, saya akhirnya memutuskan berjalan kaki saja, sejauh dua kilometer! Tidak apa-apa, "Masih muda", kata bapak-bapak petugas parkir. :-|

Memasuki taman wisata Baturraden dengan membayar lima belas ribu rupiah berdua, kami mengikuti papan petunjuk ke arah Pancuran Pitu. Sekitar lima belas menit melalui beberapa anak tangga dan jalan setapak, saya mulai berkeringat dan napas 'ngos-ngosan' -- efek jarang berolah raga. Namun, karena bersama teman yang #ehem cantik ini, serta udara segar dan rimbunnya pepohonan, kaki ini terus melangkah. Yah, dengan beberapa kali istirahat juga, sih..

Ada yang menurut saya aneh dengan perjalanan kami berdua. Tidak ada rombongan lain selain kami yang naik ke arah Pancuran Pitu. Hanya ada tiga rombongan yang malah sudah turun dari sana. Rasa aneh ini sedikit terkikis oleh adanya tulisan di papan petunjuk menuju Pancuran Pitu ini. "Turunnya bisa naik mobil, lho..." Ternyata, eh ternyata ada angkot dari parkiran taman wisata Baturraden menuju pintu gerbang Pancuran Pitu, begitu juga sebaliknya -__-"
Menunggu Angkot Pulang

Akhirnya sampai juga di gerbang Pancuran Pitu, bayar lagi lima belas ribu rupiah berdua. Dari gerbang tersebut kita masih menuruni ratusan anak tangga. Touch down! Pancuran Pitu, tujuh mata air panas yang memancar keluar dari dalam bumi. Mau apa di sini? Mandi air panas di bilik-bilik mandi yang tersedia di sini? Tidak! Sebelum berangkat, masing-masing dari kami sudah mandi. Foto-foto di depan pancuran? Tidak juga. Kami tidak terlalu narsis untuk itu. :-p

Saya kemudian teringat akan goa yang pernah saya kunjungi sewaktu masih SMP. Seketika itu juga saya melihat papan petunjuk "Goa Selirang" yang menunjuk ke sebuah jalan. Langsung saja saya ajak teman saya ini menuruni (lagi) jalan setapak  menuju "Goa Selirang" tadi, dari pada salah tingkah menghadapi tukang pijat yang menawarkan jasanya di depan pancuran. Mungkin goa itu yang pernah saya datangi.

Wow, takjub sekali ketika di sebelah kanan kami terdapat tebing cadas yang agak landai berwarna coklat dengan air panas -yang uapnya masih mengepul- mengalir di sisi-sisinya. Ada juga semacam gazebo persis di tepi tebing, yang akan membuat suasana menjadi romantis bila kami duduk-mengobrol di sana, namun sayangnya kami tidak melakukannya.

Setelah menuruni jalan setapak yang telah dibuat menyerupai anak tangga, sampailah kami di Goa Selirang. Mulut goa tersebut persis berada di tebing cadas tadi, yang dari atasnya mengalir aliran air hangat dari Pancuran Pitu. Sejenak kemudian saya mengernyitkan dahi. Kenapa mulut goa-nya sangat sempit seperti tidak bisa dilalui orang? Lagi pula, ada sepasang -yang sepertinya kekasih- asyik mengobrol berdua persis di depan mulut goa, sambil bermain air hangat yang jatuh dari tebing. Ada juga beberapa anak kecil yang juga asyik bermain air, tetapi tidak masuk ke dalam goa. Selain itu, ternyata juga ada tukang pijat yang menawarkan jasanya di situ.
Seseorang sedang 'mengabadikan' Goa Selirang

Kami lalu memilih beristirahat dan bersantai sambil dipijat. Hmm, enak juga. Mungkin karena lelah berjalan kaki cukup jauh, kami benar-benar menikmati pijitan bapak-bapak ini sekaligus menikmati pemandangan yang cukup eksotis di hadapan kami. Saya masih penasaran dengan goa yang dulu pernah saya masuki, yang ada aliran air panas dan dingin sekaligus di dalamnya. Setelah saya bertanya pada bapak yang memijati kaki saya, katanya bukan Goa Selirang ini yang saya maksud. "Ada di sana, Mas," katanya sambil menunjuk ke arah jalan yang sebelumnya kami lewati. Perasaan, tadi tidak ada goa yang kami lewati deh. Atau masih adakah jalan lagi ke arah 'sana'?
Asyik kan, dipijit sambil lihat ini?
 Sebenarnya saya masih penasaran dengan goa itu, namun teman saya mengalihkan pembicaraan dengan mengajak bercanda. Saya pun urung melihat ke dalam mulut Goa Selirang untuk memastikan ucapan bapak tukang pijat  bahwa memang benar-benar bukan goa ini yang saya maksud, karena malas basah kena air. Setelah dipijat, kami pun naik lagi ke atas ke Pancuran Pitu dengan melalui jalan lain yang pemandangannya tak kalah memesona dibandingkan jalan yang sebelumnya. Sepertinya, saya kehilangan sebuah goa menakjubkan yang pernah saya datangi sebelumnya.

_______________
*Adakah yang tahu keberadaan goa yang saya maksud? Apakah goa yang dulu pernah saya datangi adalah Goa Selirang ini? Atau memang ada yang lain?

8 komentar:

  1. wooooww,,,, pancuran pitu memang selalu menjadi mistterii....

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi saya yakin goa yg dulu saya masuki memang ada...

      Hapus
  2. Sudah lama denger tapi blm pernah kesana bos, mungkin lain kesempatan pengen juga main kesana.............

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo ke baturraden sempatkan ke pancuran pitu... :-)

      Hapus
  3. Hmm saya pernah sekali ke Baturraden, tapi waktu saya masih kecil, gak terlalu ingat sebenernya apa aja di sana. Goa yang mas cari juga saya gak apal hehehe

    Anyway, pemandangan di sana memang keren :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya... emang keren... :-)
      yuk,cari lagi goa-nya...

      Hapus
  4. baca tengah malam, jadi merinding :(

    BalasHapus
  5. Goa itu namanya Goa Sarabadak, namun sekarang udah ditutup karena longsor.

    BalasHapus